Di tengah keindahan alam Tanah Batak, terdapat kisah menarik tentang migrasi dan tradisi yang mempengaruhi pernikahan di kalangan keturunan Nairasaon. Cerita ini bermula dari pemukiman di Sibisa yang kemudian menyebar ke Uluan dan Lumban Julu, daerah yang telah lama dihuni oleh keturunan Raja Lontung dan Raja Borbor.
Saat keturunan Nairasaon mulai menyebar dari Sibisa, mereka menemukan bahwa Uluan dan Lumban Julu telah dihuni oleh keturunan Raja Lontung dan Raja Borbor. Kedatangan keturunan Nairasaon menyebabkan penduduk asli bermigrasi ke daerah lain, seperti Parsambilan, Silaen, dan Laguboti. Perpindahan ini memunculkan masalah sosial yang serius bagi orang tua keturunan Nairasaon yang tersisa di Uluan. Mereka menghadapi kekhawatiran besar: tidak ada lagi perempuan yang bisa dilamar untuk anak laki-laki mereka dan tidak ada lagi laki-laki yang datang melamar putri mereka.
Menghadapi masalah ini, para orang tua sepakat untuk bermusyawarah dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, sang pencipta dalam kepercayaan Batak. Tokoh-tokoh adat dari berbagai marga berkumpul untuk mencari solusi. Namun, dari marga Sirait keturunan Ompu Raja dan marga Butarbutar keturunan Raja Mardimpos, tidak ada perwakilan yang hadir.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh seorang raja dari Sibisa, dan hasil musyawarah mereka adalah mengadakan Horja Parsaktian, sebuah pesta doa. Tujuannya adalah memohon petunjuk dari Debata Mulajadi Nabolon mengenai apakah diperbolehkan atau tidak sesama keturunan Nairasaon untuk saling menikah.
Ritual Horja Parsaktian dilakukan di kampung Lumbanjulu. Di tengah halaman rumah, mereka mendirikan sebuah borotan (tonggak dari kayu tertentu), dan di atas borotan itu diikatlah sijagaron, terdiri dari potongan: sanggar, beringin, silinjuang, ompuompu, dan sihilap. Dengan diiringi tabuhan ogung sabangunan, mereka manortor (menari) dan berdoa, meminta petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa (Debata Mulajadi Nabolon).
Pemimpin Horja Parsaktian dari marga Sitorus memohon agar jika Debata Mulajadi Nabolon memperkenankan pernikahan antar sesama keturunan Nairasaon, maka seluruh jenis tanaman sijagaron yang diikat di borotan itu hendaknya tumbuh dan segar. Sebaliknya, jika tidak diperkenankan, maka seluruh tumbuhan itu harus layu.
Secara logika, tidak mungkin tumbuhan yang diikat pada sebatang pohon akan tumbuh. Namun, setelah tujuh hari tujuh malam, para orang tua dan penduduk kampung melihat bahwa kelima jenis tumbuhan sijagaron itu tumbuh dan segar. Bagi mereka, ini adalah pertanda bahwa Debata Mulajadi Nabolon merestui dan tidak melarang terjadinya pernikahan antar sesama keturunan Nairasaon.
Sejak saat itu, pernikahan antar sesama keturunan Nairasaon mulai terjadi. Namun, karena tidak ikut serta dalam Horja Parsaktian tersebut, keturunan Sirait dari Ompu Raja dan Butarbutar dari keturunan Raja Mardimpos tidak mengakui keputusan itu. Hingga kini, mereka sering mencela pernikahan antar sesama keturunan Nairasaon.
Di Sibisa, tempat tinggal keturunan Ompu Raja dan Raja Mardimpos, penolakan terhadap pernikahan sesama keturunan Nairasaon masih terasa kuat. Mereka tetap memegang teguh pandangan bahwa pernikahan antar sesama keturunan tidak diperbolehkan.
Kisah ini bukan hanya tentang tradisi dan keputusan sosial, tetapi juga tentang bagaimana komunitas berinteraksi dengan kepercayaan mereka untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ini adalah salah satu dari banyak cerita yang menggambarkan kekayaan budaya dan sejarah Batak. Meski ada kontroversi, kisah ini tetap menjadi bagian penting dari identitas dan warisan keturunan Nairasaon.
Di Sibisa, tempat tinggal keturunan Ompu Raja dan Raja Mardimpos, penolakan terhadap pernikahan sesama keturunan Nairasaon masih terasa kuat. Mereka tetap memegang teguh pandangan bahwa pernikahan antar sesama keturunan tidak diperbolehkan.